12 Mei 2014

Untuk Kamu

Tulisan ini aku buat untuk kamu.
Kamu bisa membacanya, bisa juga tidak.
Siapa suruh kamu tidak pernah mampir lagi kesini seperti dulu ketika kamu sedang berusaha mengenal aku.
Tapi mungkin jawabannya karena saat ini kamu sudah cukup mengenalku langsung.
Kita bertatap muka hampir setiap waktu, kalau bisa bertanya untuk apa membaca? :p

Tapi saat ini aku sedang memikirkan kamu dan hanya ingin menuliskannya disini.
Bisakah kamu merasakannya?

Aku sedang melihat langit Thamrin yang cerah ceria
Aku langsung teringat foto langit yang pernah kamu pamerkan 3 tahunan lalu
Yang langsung aku jadikan wallpaper laptop lamaku
Entah kamu ingat atau tidak?

Tapi aku selalu ingat
Semua hal kecil tentang kamu, tentang kita

Sebentar lagi kita bertemu, sekitar 1 jam 20 menit lagi kamu akan menunggu aku di balik gedung ini.
Kita akan bertemu, berbicara, bertengkar, bercanda, berdikusi, saling mendukung, saling menyakiti, semua yang bisa dilakukan agar kita bisa tetap bersama.
Hai, kamu, semoga kamu membaca pesan ini..

Aku sedang merindukan kamu..

8 Mei 2014

Hari-Hari Sebelum Melahirkan

Kandungan saya sudah masuk 36 minggu. Menurut dokter, di usia ini bayi bisa lahir kapan saja. Banyak hal yang sudah dipersiapkan dan masih harus dipersiapkan lagi. Tapi satu hal besar yang selalu menjadi pertanyaan saya,"Bisakah saya menjadi ibu yang baik untuk bayi kecil ini," pertanyaan lain,"Apa saya bisa membawa dia menjadi anak yang bahagia?"

Ketika sudah ada posisi akan menjadi ibu dan melihat track record sebagai anak, saya mulai menyadari seberapa sulit menjadi seorang ibu itu. Ada jembatan yang harus diusahakan dibangun di antara ibu dan anak. Ada waktu dan perjalanan yang terbentang terlalu jauh di antara dua sisi tersebut. Kadang sulit untuk orang tua dan anak untuk saling melihat sisi di sebrang sana. Satu sisi, yaitu orang tua, merasa sudah melewati perjalanan cukup panjang hingga merasa lebih mengerti dan memahami apa yang harus generasi berikutnya akan jalani. Sementara, di sisi lain, anak,  mengatakan bahwa ia tak harus melewati jalan yang sama dengan pendahulunya, orang tuanya.

Tidak ada yang tahu siapa yang lebih benar dan yang lebih salah dalam berpendapat. Tapi bisakah orang tua, atau saya suatu hari nanti membiarkan anak-anak ini memilih jalannya sendiri. Jalannya yang tidak saya kenal, tapi mereka yakini kebenarannya. Beranikah saya melepas mereka untuk menemukan kebahagiaanya sendiri yang berbeda definisi dengan saya? Bisakah saya dengan lapang dada menyadari bahwa anak ini memiliki jalannya sendiri yang bukan hak saya untuk menentukan?

Seperti kata Kahlil Gibran : Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.